Autisme adalah kelainan
perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada
seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun
memahami emosi serta perasaan orang lain.[1] Autisme merupakan
salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism
Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis
gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive
Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan
suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut
tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada
perilaku penyandang autisme.[2]
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada
anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga
tahun.[1] [3] Penderita autisme
juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.[1] Seseorang dikatakan menderita
autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan
dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi
secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami
perkembangan yang terlambat atau tidak normal.[4]
Di Amerika Serikat, kelainan autisme
empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan
dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang
lainnya.[5] Di Indonesia, pada
tahun 2013 diperkirakan
terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun.[6] Sedangkan prevalensi
penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap
autisme.[6]
A. Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti
dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai
penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau
tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan
sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat
apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku
yang berulang.[7]
Aarons dan Gittents (1992)
merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme
sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting
sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau
mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun
kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi
keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa
perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku
tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan
bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam
memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya
kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang
semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan
keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak
sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan
anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di
bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan
awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar,
kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang
menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
B. Diagnosis
Anak
dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan
kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran,
sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif
(mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan
mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik
kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar
kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi
gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas
dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada
para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka
terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu
bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan
mereka.
Beberapa
atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada
para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.
- Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
- Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
- Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
- Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
- Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya
sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan
bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan
beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan
bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit
memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di
atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk
lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National
Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis
perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
- Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
- Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
- Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
- Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
- Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas
tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena
karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami
persoalan autisme.
Simtoma klinis menurut DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin
interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh,
gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain
dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati,
perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu
mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat
bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi
tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh &
diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang
variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1
minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas
dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu
kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan
aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada
bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild),
sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat
mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan
autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh
para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak
berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri
sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang
dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan
fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan
bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang
umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik
gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun
model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme.
Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di
bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik
pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi,
apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera
diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Referensi baku yang digunakan secara
universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of
Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical
Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam
kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu
pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka
gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan
perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak
dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang
saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
- Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
- The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
- The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
- The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme
maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang
menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan
perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai
macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga
sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat
terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
C. Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan
seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset
yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab
autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan
faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.[8]
1. Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki
peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya
bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.[7] Riset yang dilakukan terhadap anak autistik
menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami
autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara
kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.[7] Hal ini
diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak
kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya
memiliki gen yang 50% sama.[7]
2. Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan
oleh vaksin MMR yang rutin diberikan
kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.[9] Kekhawatiran ini
disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan
vaksin tersebut mengandung merkuri.[9] Unsur merkuri inilah
yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak
ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka
autisme pada anak semakin tinggi.[9]
D. Penanganan autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme
merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia
menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan
faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan
penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
- Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
- Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
- Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
- Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
- Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
1. Terapi
Beberapa jenis terapi bersifat
tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya
mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak
banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang
standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa
terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya;
komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya
meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy)
dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah
serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian
sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak
menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi
orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung
kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu
yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
- Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk
memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan
mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data
ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua
di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu
penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki
anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum
lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu
sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang
ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin
secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang
berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak,
berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat
anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai
basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan
pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak
ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga
sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu
jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan
atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi.
Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara
konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan
kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
E. Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu
dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di
California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme.
Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari
Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata
hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala
autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities
(NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100
per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari
autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD
yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru
adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali
lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan.
Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli
terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka
pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini.
Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi;
kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat
biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27
Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
- Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
- Chromosome 7 – speech / language chromosome
- Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di
bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan
penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil
penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan
oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak
menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan
data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam
suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan
Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar
biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan
satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas:
2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak
penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus
meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat
ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata
sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?
F. Perkembangan
Penelitian Autisme
Penelitian mengenai autisme pertama
kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal Amerika
Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.[10] Melalui makalah
risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of Affective Contact",
Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang memiliki gangguan yang sama dan
mendeskripsikannya sebagai "autisme".[10] Pada masa itu,
anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan terbelakang
bukan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan.[10] Hasil penelitian
yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak perkembangan penelitian
autisme serta perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak yang menderita
autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan
autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan
melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model
psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an,
terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat
memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur,
dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis,
variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
- Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
- Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
- Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
- Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar